Marwah Kota Religius Ternodai, Pajak Hiburan Malam Diduga Mengalir di Bawah Meja


CILEGON, CyberTipikor –
Identitas Kota Cilegon sebagai kota santri kembali dipertanyakan. Di tengah citra religius yang kerap digaungkan, aktivitas tempat hiburan malam—khususnya diskotik di kawasan Merak—masih marak beroperasi hingga larut malam, bahkan sampai subuh.

Pernyataan mengejutkan datang dari Kepala Satpol PP Cilegon yang menyebut bahwa keberadaan diskotik di kota baja ini “boleh beroperasi”. Ucapan tersebut langsung menuai polemik karena bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3), yang secara tegas membatasi jam operasional hiburan malam.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Diskotik tetap buka hingga dini hari, bahkan menjual minuman beralkohol.

Perda K3 seharusnya menjadi dasar penertiban. Tetapi implementasinya terkesan hanya sebatas teks di atas kertas. Aparat penegak Perda, dalam hal ini Satpol PP, bukannya bertindak tegas, malah melontarkan pernyataan permisif.

“Jika ada yang melanggar, harus ditegakkan. Pemerintah tidak boleh berkompromi jika keberadaan diskotik meresahkan masyarakat,” tegas Sekretaris Umum MUI Cilegon, Sutisna Abas, Minggu (24/8/2025).

MUI juga mempertanyakan legalitas tempat hiburan tersebut. Jika benar tidak berizin, bagaimana bisa tetap beroperasi secara terang-terangan tanpa hambatan?

Publik kini menuntut kejelasan. Apakah diskotik di Cilegon sudah mengantongi izin usaha resmi? Jika iya, berapa kontribusi pajak yang masuk ke kas daerah? Dan apakah manfaat ekonomi itu sepadan dengan dampak sosial yang ditimbulkan?

Data yang dihimpun redaksi menunjukkan, kontribusi pajak hiburan malam terbilang kecil jika dibandingkan dengan potensi kerugian sosial: keresahan warga, pergeseran norma, hingga meningkatnya risiko kriminalitas.

Bagi MUI, polemik hiburan malam bukan sekadar soal izin usaha atau kontribusi pajak, melainkan menyangkut marwah kota.

“Apapun titel yang disandang sebuah kota tidak ada artinya jika pemerintahnya tidak tegas. Yang terpenting, bagaimana Pemkot Cilegon menegakkan aturan dengan konsisten,” ujar Sutisna.

Fenomena ini menampilkan wajah ganda Cilegon: di satu sisi dikenal religius, namun di sisi lain membiarkan diskotik tetap tumbuh subur di tengah masyarakat.

Investigasi ini mengerucut pada pertanyaan utama: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari keberadaan diskotik di Cilegon? Apakah pemerintah menutup mata demi pemasukan pajak? Ataukah ada backing kuat yang membuat tempat hiburan malam kebal dari penertiban?

Masyarakat kini menunggu langkah tegas dari Pemkot. Jika persoalan ini dibiarkan, bukan hanya ketertiban yang dipertaruhkan, melainkan juga identitas Cilegon sebagai kota santri.

Hingga kini, upaya konfirmasi awak media ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Cilegon tidak mendapat jawaban. Setiap ditanya mengenai izin usaha diskotik, pihak terkait enggan berkomentar.

Sementara itu, Dinas Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah (DPKAD) Cilegon hanya memberikan jawaban singkat. “Terkait Hotel Merpati, itu sudah menjadi wajib pajak dan lancar kontribusinya,” ujar salah satu pejabat DPKAD.

Namun, sumber internal menduga pajak dari Hotel Merpati tidak disetorkan secara resmi, melainkan diberikan “di bawah meja”. Dugaan ini semakin memperkuat tanda tanya mengenai transparansi pengelolaan pajak hiburan malam di Cilegon.

Publik menanti sikap berani dari Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut dugaan aliran pajak hiburan malam yang tidak transparan. Jika kebenaran tidak dibuka, maka bukan hanya citra pemerintahan yang tercoreng, tetapi juga marwah Kota Cilegon sebagai kota religius yang selama ini dibanggakan.

(Red)

Posting Komentar

0 Komentar