Kemerdekaan Semu di Ujung Perayaan HUT RI


SUMEDANG, CyberTipikor -
Delapan puluh tahun sudah bangsa ini merayakan kemerdekaan. Namun di balik gegap gempita upacara, barisan paskibra, tabuhan drum band, hingga hiasan merah putih di setiap sudut jalan, ada pertanyaan besar yang tak bisa dihindari: apakah kita benar-benar merdeka?

Semua tampak khidmat, tapi kesakralan itu kian pudar. Kemerdekaan seolah hanya menjadi seremonial tahunan—sekadar rutinitas tanpa penghayatan mendalam. Jiwa pengorbanan para pejuang yang rela menukar nyawa dengan kemerdekaan kini hanya jadi kenangan di buku sejarah, tanpa benar-benar hidup di sanubari generasi penerus.

Pancasila, yang dulu menjadi pedoman luhur kehidupan bangsa, kini tak lebih dari hafalan kosong. Ketuhanan hanya berhenti pada pengakuan, tidak menjelma dalam penghayatan apalagi perilaku. Kemanusiaan kian tergerus oleh egoisme dan ketidakadilan. Persatuan yang dulu menjadi pondasi bangsa kini rapuh oleh polarisasi, kepentingan politik, dan fanatisme sempit.

Kerakyatan seakan dinodai oleh tingkah laku wakil rakyat yang jauh dari rakyat. Mereka berkoar tentang demokrasi, namun lupa mendengar suara yang sesungguhnya. Dan Keadilan—yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara—kini hanyalah slogan basi yang tak pernah benar-benar hadir dalam keseharian masyarakat.

Maka, di momen sakral HUT ke-80 Republik Indonesia ini, kita harus berani bercermin: jangan-jangan yang kita rayakan bukanlah kemerdekaan sejati, melainkan kemerdekaan semu.

Kemerdekaan yang sejati bukan sekadar bendera yang berkibar atau lagu kebangsaan yang dikumandangkan. Ia adalah ketika rakyat bisa hidup tanpa takut lapar, tanpa takut ditindas hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, tanpa khawatir masa depan anaknya terenggut oleh sistem yang timpang.

Hari ini, kemerdekaan itu masih jauh panggang dari api.

Dan di situlah tantangan generasi penerus bangsa: menghidupkan kembali makna kemerdekaan yang sejati, sebagaimana dicita-citakan para pendiri negeri ini.

(Rahmat)

Posting Komentar

0 Komentar