KUNINGAN – (CT) Cyber Tipikor //
Polemik penyegelan menara telekomunikasi (tower) di Desa Sidamulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, membuka tabir persoalan yang lebih kompleks daripada sekedar ketidaksepakatan nilai kompensasi.
Di balik aksi warga yang memasang bambu sebagai penghalang dan menuliskan “Tower Disegel/Bongkar” di bagian depan lokasi, terdapat rangkaian persoalan administratif, komunikasi yang tersendat, serta minimnya transparansi pihak pengembang menara kepada pemerintah desa dan masyarakat.
Tower tersebut diketahui telah beroperasi selama kurang lebih 14 tahun. Namun sepanjang periode itu, masyarakat sekitar menyebut tidak pernah memperoleh penjelasan rinci mengenai besaran kontribusi, dampak lingkungan, ataupun kebijakan kompensasi sosial dari pihak perusahaan.
Sumber warga yang ditemui tim investigasi menyebut bahwa keberadaan tower awalnya hanya melibatkan pemilik lahan dan pengelola tanpa sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat. Ketika masa kontrak mendekati akhir, barulah warga mengetahui bahwa tower tersebut akan kembali diperpanjang.
Poin krusial muncul ketika warga mulai mempertanyakan bentuk kompensasi yang dianggap pantas bila tower tersebut tetap beroperasi di lingkungan mereka.
Menurut penuturan Kepala Desa Sidamulya yang didampingi Sekretaris Desa, pertemuan resmi antara warga, pemilik lahan, dan perwakilan perusahaan telah dilakukan dua minggu sebelumnya. Desa menyatakan hanya memfasilitasi, tidak terlibat dalam penentuan nominal.
Dalam pertemuan tersebut, perusahaan disebut menyetujui kompensasi sebesar Rp50 juta. Namun bagi warga, angka itu dinilai tidak sebanding dengan dampak operasional tower serta lama kontrak yang mencapai belasan tahun. Warga kemudian mengusulkan kompensasi Rp100 juta sebagai nilai yang dianggap layak.
Hingga kini, tidak ada pertemuan lanjutan yang difasilitasi oleh pihak perusahaan, dan desa menyebut tidak menerima pemberitahuan resmi apa pun.
Poin lain yang terungkap dalam investigasi adalah ketidakjelasan mengenai siapa vendor atau perusahaan yang secara resmi bertanggung jawab atas tower tersebut.
Kepala Desa, ketika dikonfirmasi, menyatakan tidak mengetahui nama perusahaan ataupun pihak pengembang yang kini mengoperasikan menara itu.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan baru mengenai:
*Apakah perusahaan mengikuti prosedur administrasi pelaporan kepada pemerintah desa?
*Apakah ada dokumen resmi yang menunjukkan legalitas operasional tower?
*Bagaimana mekanisme pengawasan terhadap kontrak yang berjalan selama 14 tahun?
Minimnya dokumen dan data administratif memperkuat dugaan bahwa selama bertahun-tahun, pengelolaan tower tidak dilakukan dengan keterbukaan yang memadai.
Ketika ketidaksepakatan nominal kompensasi tak menemui titik temu, masyarakat memutuskan mengambil langkah nyata dengan melakukan penyegelan.
Penyegelan dilakukan secara kolektif dan terstruktur, termasuk pemasangan bambu penghalang serta penulisan pesan peringatan berwarna hitam di area depan tower.
Warga menyatakan bahwa tindakan ini bukan sekadar protes, tetapi juga peringatan tegas agar perusahaan tidak mengabaikan hak dan suara masyarakat.
Mereka menilai bahwa keberadaan tower dalam jangka panjang berdampak terhadap estetika wilayah, nilai tanah, hingga kekhawatiran terhadap radiasi, meski belum ada bukti ilmiah yang dikonfirmasi dari pihak perusahaan.
Investigasi juga menemukan adanya perbedaan kepentingan antara pemilik lahan dan warga sekitar. Pemilik lahan telah menyelesaikan kontrak dengan perusahaan, namun masyarakat tidak dilibatkan dalam penentuan nilai kompensasi sosial.
Fenomena ini mengindikasikan lemahnya model komunikasi antara perusahaan, pemilik lahan, dan warga. Warga merasa bahwa mereka memiliki hak karena tower berdiri di lingkungan sosial mereka, bukan hanya di atas tanah milik pribadi.
Penyegelan tower diperkirakan dapat menimbulkan gangguan jaringan telekomunikasi di wilayah tertentu. Hingga kini, perusahaan belum mengeluarkan pernyataan resmi maupun mengirimkan tim ke lokasi untuk menegosiasikan ulang atau melakukan pendekatan sosial kepada warga.
Desa Sidamulya juga menegaskan bahwa situasi masih bisa berkembang. Bila tidak ada kehadiran resmi dari pihak perusahaan, potensi eskalasi konflik tetap terbuka.
Kasus penyegelan tower di Desa Sidamulya tidak hanya berkaitan dengan kompensasi finansial, tetapi juga menyangkut model komunikasi, transparansi pengelolaan infrastruktur, hak sosial masyarakat, serta tata kelola aset telekomunikasi di tingkat lokal.
Tim investigasi mencatat bahwa:
*Transparansi administrasi pengelola tower sangat minim.
*Warga merasa hak sosial mereka tidak dipertimbangkan.
*Pemilik lahan dan perusahaan melakukan perjanjian tanpa sosialisasi luas.
*Pemerintah desa hanya berperan sebagai fasilitator, bukan pengambil keputusan.
Situasi di lapangan masih terus berkembang, dan warga menyatakan tidak akan mencabut segel sampai kompensasi sesuai tuntutan disepakati.


0 Komentar