Sejarah, Peran, dan Tradisi Langgar Agung Keraton Kasepuhan Cirebon



CIREBON — (CT) Cyber Tipikor //

Langgar Agung, sebagai salah satu bangunan tertua di lingkungan Keraton Kasepuhan, kembali menarik perhatian publik dan pemerhati budaya seiring terus dilestarikannya berbagai tradisi keagamaan dan adat oleh Kesultanan Cirebon. 

Bangunan bersejarah yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga menjadi elemen penting dalam rangkaian upacara adat yang diwariskan turun-temurun.

Berdasarkan catatan tradisi Kesultanan, Langgar Agung didirikan pada masa awal terbentuknya Keraton Kasepuhan sebagai pusat pemerintahan dan dakwah Islam. 

Pada masa itu, para pendiri Cirebon menjadikan bangunan ini sebagai tempat pelaksanaan salat, pembelajaran agama, musyawarah, hingga pusat penyebaran nilai-nilai Islam bagi masyarakat setempat. 

Hingga hari ini, fungsi tersebut tetap dipertahankan sebagai bagian integral dari identitas spiritual kesultanan.

Secara arsitektural, Langgar Agung menampilkan perpaduan unsur lokal Cirebon, pengaruh Islam klasik, dan estetika khas keraton. Struktur bangunannya yang sederhana namun sarat makna memperlihatkan karakter ruang ibadah tradisional Nusantara, di mana spiritualitas dan budaya menyatu dalam harmoni. 

Setiap elemen bangunan, termasuk tiang, atap, dan ornamen kayu, merepresentasikan perjalanan panjang peradaban Cirebon.

Langgar Agung memiliki posisi khusus dalam Upacara Panjang Jimat, sebuah tradisi sakral yang diselenggarakan setiap bulan Maulid. 

Upacara yang telah berlangsung ratusan tahun ini menjadi simbol penghormatan Kesultanan Cirebon terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW sekaligus wujud pelestarian budaya yang telah diwariskan para leluhur.

Prosesi Panjang Jimat dimulai dari Langgar Agung melalui pembacaan riwayat Nabi, dzikir, doa-doa adat, serta persiapan ritual lainnya yang dipimpin oleh ulama keraton dan abdi dalem. 

Dari tempat ini, kesakralan upacara kemudian dibawa menuju ruang-ruang keraton lainnya hingga mencapai puncaknya di Bangsal Panembahan. 

Keberadaan Langgar Agung dalam rangkaian tersebut menegaskan perannya sebagai pusat spiritual sekaligus penjaga kesinambungan tradisi budaya Kasepuhan.


Selain perannya dalam kegiatan adat, Langgar Agung juga menjadi lokasi utama pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha yang diikuti langsung oleh Sultan Kasepuhan bersama masyarakat sekitar. 

Tradisi unik yang tetap dipertahankan hingga kini adalah kebiasaan Sultan melaksanakan salat Id dua kali dalam satu rangkaian.

Pada tahap pertama, Sultan menunaikan salat Id di Langgar Agung bersama para abdi dalem dan warga yang berada di lingkungan keraton. 

Setelah itu, Sultan bergerak menuju Masjid Agung Sang Cipta Rasa untuk melaksanakan salat Id kedua kalinya bersama masyarakat Cirebon dalam skala lebih luas.

Tradisi ini menjadi simbol kepemimpinan spiritual Sultan yang dekat dengan rakyat serta bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai syiar Islam.

Usai rangkaian ibadah di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Sultan kembali ke Keraton Kasepuhan. Kedatangannya disambut meriah dengan lantunan Gong Sekati, sebuah gamelan keraton yang hanya dibunyikan pada momen-momen penting, termasuk perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. 

Instrumen sakral ini dibunyikan sebanyak dua kali, menandai selesainya rangkaian ibadah serta menguatkan nilai simbolik hubungan antara budaya keraton dan tradisi keagamaan.

Keberadaan Langgar Agung hingga kini membuktikan konsistensi Kesultanan Kasepuhan dalam menjaga, menghidupkan, dan melanjutkan tradisi leluhur. 

Sebagai ruang ibadah, pusat ritual adat, serta simbol sejarah perkembangan Islam di Cirebon, Langgar Agung menjadi representasi penting dari kekayaan budaya Nusantara yang patut dijaga bersama.

Kesultanan Kesepuhan memastikan bahwa berbagai tradisi sakral yang terkait dengan Langgar Agung :

— mulai dari kegiatan ibadah harian, prosesi Panjang Jimat, hingga pelaksanaan Salat Id bersama Sultan

— tetap dilaksanakan dengan penuh khidmat, teratur, dan sesuai pakem adat yang berlaku. 

Langgar Agung bukan hanya bangunan bersejarah, melainkan ruang hidup yang terus menjadi saksi perjalanan budaya dan spiritual masyarakat Cirebon.

Posting Komentar

0 Komentar