
Foto Ilustrasi by AI
SUMEDANG, CyberTypikor - Bencana alam di Indonesia kerap dipandang sebagai musibah yang datang begitu saja—sebuah fenomena alamiah yang sulit dihindari. Namun anggapan itu semakin usang. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak bencana yang terjadi bukan murni “uluran tangan alam”, melainkan buah dari kombinasi antara kondisi geologis dan ulah manusia yang abai menjaga keseimbangan lingkungan.
Pohon-pohon ditebang tanpa kendali, bukit-bukit dikupas hingga gundul, dan lahan-lahan subur diubah menjadi area industri atau permukiman tanpa perhitungan matang. Ketika hujan ekstrem datang, air kehilangan tempat untuk meresap. Akibatnya, banjir dan longsor tak lagi sekadar risiko, tetapi menjadi pola tahunan yang terus berulang.
Faktor manusia jelas menjadi katalis. Deforestasi, alih fungsi lahan, serta eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan telah mengganggu daya dukung ekosistem. Pembangunan yang tidak mengikuti kaidah tata ruang hanya memperburuk keadaan. Saat izin pembangunan dapat “dibicarakan”, bukan didasarkan pada kajian ilmiah, maka bencana tinggal menunggu waktu.
Dampak dari bencana pun semakin luas. Tidak hanya rumah dan infrastruktur yang hancur, tetapi juga mata pencaharian yang hilang. Petani kehilangan lahan, nelayan kehilangan akses, dan masyarakat kecil menjadi korban paling rentan. Sektor pangan ikut terdampak ketika ribuan hektare lahan rusak atau hanyut akibat kerusakan ekologis.
Solusi tidak bisa lagi bersifat kosmetik. Bantuan darurat penting, tetapi bukan inti perbaikan. Saatnya tata kelola lingkungan diperbaiki dari hulu ke hilir. Sistem perizinan harus diperketat, pengawasan diperkuat, dan penegakan hukum tidak boleh berhenti pada publikasi konferensi pers semata. Revitalisasi lingkungan—reboisasi, perbaikan Daerah Aliran Sungai (DAS), hingga pemulihan kawasan kritis—harus menjadi prioritas.
Tidak kalah penting, korporasi yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan harus dimintai pertanggungjawaban. Label “bencana alam” tidak boleh menjadi selimut yang menutupi praktik perusakan yang sudah lama terjadi. Masyarakat pun perlu meningkatkan kesadaran kolektif bahwa menjaga alam bukanlah slogan, melainkan kewajiban moral.
Dari sisi spiritual, banyak yang memandang bencana sebagai pengingat: bahwa hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta tak bisa dipisahkan. Bencana menjadi cermin yang memaksa kita menengok kembali tindakan yang mungkin melampaui batas. Hidup di bumi adalah kontrak yang menuntut keharmonisan, bukan keserakahan.
Pada akhirnya, bencana alam di Indonesia bukan sekadar persoalan cuaca atau kondisi geologi. Ini adalah cermin dari cara kita memperlakukan alam. Selama kerusakan lingkungan dibiarkan, selama aturan dapat dilenturkan, dan selama keserakahan lebih besar dari kepedulian, maka bencana akan terus datang—bukan sebagai kejutan, tetapi sebagai konsekuensi.
Dan itu bukan lagi musibah semata, melainkan peringatan keras yang tak boleh lagi diabaikan.
(Rahmat Setiawan - Red)
0 Komentar